Rabu, 28 Desember 2011

KELUARGA : Basis Pembentukan Generasi Berkualitas

Banyak orang tua yang ketika ditanya tentang anak-anaknya dengan bangga menjawab kalau anak-anak mereka sudah sarjana semua, sudah jadi dokter, sudah kerja di perusahaan besar, sudah punya rumah, dan lain sebagainya.
Wahai orangtua, lebih berbanggalah jika anak-anak anda adalah menjadi orang-orang yang jujur, orang yang banyak menebar manfaat dan kebaikan untuk orang lain, orang yang dekat dengan 'ulama, orang yang sudah benar sholatnya, orang yang fasih membaca qur'an dan mencintainya, orang yang mengenal Rasul dan sahabatnya, dan orang yang cinta sholat malam, apapun jabatan dan profesi mereka. Karena anak-anak yang demikian lah yang akan menyelamatkan anda di akhirat kelak.


KELUARGA : Basis Pembentukan Generasi Berkualitas

Kalau kita kalkulasi dan asumsikan bahwa rata-rata usia ummat manusia saat ini adalah 60 tahun, dan mereka menikah rata-rata pada usia 25 sampai 30 tahun. Maka lamanya waktu setelah menikah itu lebih lama dibandingkan waktu manusia sebelum menikah. Artinya,  status kita sebagai suami atau istri itu lebih lama dibandingkan status kita sebagai seorang yang single. Lalu kalau kita meninggal dunia di usia rata-rata manusia, yaitu di usia 60 tahun nanti, maka bisa dipastikan status kita pada saat meninggal adalah sebagai suami atau istri dari pasangan kita.

Meski keluarga bukan satu-satunya parameter, namun dari domain waktu tersebut, sangat jelas bahwa sebuah keluarga yang baik itu sangat penting untuk diwujudkan oleh kita. Agar kita bisa mengisi waktu yang lama itu dengan good value (akhlaqul karimah) serta memperoleh kenikmatan berupa happy ending (husnul Khotimah).

Kalau kita renungkan sejenak, apa sih tujuan kita menikah? mungkin jawabannya akan berbeda-beda tergantung siapa yang kita tanya dan dari sudut mana dia menjawabnya.Karena motif orang menikah itu pun bermacam-macam, ada yang melihat dari sisi fisiknya agar mendapatkan pasangan yang parasnya indah dilihat, ada juga yang menikah karena calon pasangannya memiliki harta yang banyak sehingga bisa memberikan masa depan yang baik, ada juga yang terpaksa karena dijodohkan orangtuanya, atau ada yang menikah karena kebaikan perilaku calon pasangannya. Kita semua tahu, bahwa sebaiknya kita menikah adalah dilandasi karena agamanya, baru dilihat hal lainnya, lalu bertujuan semata hanya agar hidup dan keluarganya nanti diridhoi oleh Allah.

Satu hal yang harus kita ingat juga, yaitu salah satu tujuan dari diturunkannya syari'at (aturan atau ajaran Allah) di muka bumi ini adalah untuk menjaga keturunan (hifzhun nasl atau hifzhun nasab). Hal ini dimaksudkan agar manusia di muka bumi ini terus terjaga eksistensinya dan tidak menjadi punah seperti halnya yang pernah terjadi pada makhluk-makhluk purba pada zaman dahulu kala. Kemudian selain menjaga eksistensi manusia, diharapkan dari generasi atau keturunan berikutnya adalah generasi ini menghasilkan sebuah karya dan kualitas yang lebih baik dari generasi sebelumnya untuk memberikan manfaat dan kebaikan di muka bumi ini. Dan satu-satunya cara yang dibenarkan oleh Islam untuk memperoleh keturunan adalah melalui sebuah proses yang dinamakan pernikahan. Dari pernikahan inilah hadir sebuah keluarga baru yang akan menjadi basis pembentukan sebuah generasi baru. Tentunya, generasi yang berkualitas pasti hanya akan dihadirkan oleh sebuah keluarga yang berkualitas.

Yah memang benar, tujuan menikah tidak hanya karena kita ingin dicintai dan mencintai pasangan kita, tapi lebih dari itu, salah satu tujuan penting dari sebuah pernikahan adalah untuk membentuk generasi penerus kita yang jauh lebih baik, lebih berkualitas, lebih pintar, lebih sholeh, lebih cinta kepada Allah, lebih cinta Rasul-Nya, lebih cinta Al-Qur’an dan generasi yang bisa memberikan perubahan dan menebarkan kebaikan di muka bumi ini. Keturunan juga merupakan aset termahal dalam hidup kita, karena keturunan yang sholeh ini yang bisa membuat kita menjadi penghuni syurga nanti, bukan malah keturunan yang menjebloskan kita ke dalam perihnya siksa neraka. Kembali, kuncinya adalah kualitas di dalam sebuah keluarga.

Dulu manakala masih bertugas di Jakarta dan sering keliling mengikuti kajian-kajian Ke-Islaman, teringat sebuah taushiyah dari Ustadz Budi Darmawan, suami dari Ustadzah Yoyoh Yusroh yang beberapa bulan lalu meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan yang lokasinya tak jauh dari tempat saya dilahirkan, semoga Allah memuliakan mereka berdua. Beliau mengatakan bahwa keluarga itu terbagi menjadi dua macam.
Pertama, tipe keluarga yang low empowerment. Yaitu apabila sebelum menikah, suami atau istrinya merupakan pribadi yang produktif, interpersonalnya baik, tingkat ibadahnya kepada Allah bagus, serta  memiliki kelebihan dan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun setelah menikah, kebaikan-kebaikan itu menurun dan seakan sirna karena keduanya hanya disibukkan oleh urusan-urusan internal keluarganya saja, tanpa menghasilkan karya-karya yang bermanfaat buat pribadi dan ummat.
Kedua, tipe keluarga yang high empowerment, yaitu tipe keluarga yang kebalikan dari tipe keluarga di atas. Sebelum menikah, suami atau istri tersebut merupakan pribadi yang biasa-biasa saja. Namun setelah menikah, keduanya berubah menjadi pribadi yang produktif, berperan aktif terhadap lingkungannya, semakin dekat dan cinta kepada Allah, serta potensi-potensi yang dulu terpendam kini mulai bermunculan.

Kalau kita lihat sejarah, banyak kisah indah yang dicontohkan tokoh teladan kita dalam pembentukan generasi berkualitas. Salah satu contohnya adalah tokoh Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel.
Rasulullah Muhammad SAW mengatakan bahwa Islam akan membebaskan dua kota besar Romawi, yaitu Konstantinopel (sekarang Istambul, Turkey) dan Roma. Dan menurut beliau SAW, yang pertama ditaklukkan oleh Islam adalah Konstantinopel, dan sebaik-baik panglima adalah panglima dari pasukan yang menaklukkan Konstantinopel tersebut, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang dipimpinnya.
Tahukah anda, penaklukkan kota Konstantinopel itu terjadi pada tahun 857 Hijriyah atau 1453 Masehi. Terpaut lebih dari 700 tahun dari waktu Nabi SAW mengatakannya. Dan sosok panglima penakluk Konstantinopel inilah yang bernama Muhammad Al Fatih, di mana beliau berhasil menaklukkan Konstantinopel itu pada saat beliau hanya berusia 21 Tahun.
Sejak kecil beliau sudah dididik dengan baik oleh orangtua dan keluarganya, sehingga beliau menjadi pakar dalam bidang matematika, sains, ketentaraan, bahasa Arab, fiqih, sastra dan ilmu lainnya. Beliau juga menguasai 6 bahasa. Muhammad Al Fatih tidak pernah meninggalkan Sholat Wajib, Sholat Tahajjud dan Sholat Rawatib sejak beliau baligh sampai kematiannya.

Berikut beberapa buku yang layak dibaca sebagai referensi kita dalam membina sebuah keluarga :
-          10 Bersaudara Bintang Al-Qur’an, pengarang : Izzatul Jannah - Irfan Hidayatullah
-          Fiqih Bayi, pengarang : Ibnul Qayyim
-          Cinta di Rumah Hasan Al Banna, pengarang : Muhammad Lili Nur Aulia
-          Dan masih banyak lagi

Kita semua berharap keluarga kita termasuk ke dalam keluarga yang high empowerment, keluarga yang berkualitas dan keluarga yang bisa menghasilkan keturunan yang berkualitas. Semoga demikian, ammiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar